Monday, 6 September 2010
Cara Gampang Mendisiplinkan Anak
Melatih disiplin pada anak tidak harus seperti melatih tentara. Gunakan tabel bonus dan hukuman agar menyenangkan dan tidak menjadi beban.
Alangkah repotnya bila setiap pulang kantor Anda masih punya pekerjaan ekstra untuk mengingatkan anak, dari membereskan mainannya sampai menggosok gigi sebelum tidur. Padahal sebenarnya kebiasaan itu bisa dilatih lewat penanaman disiplin. “Konsep tentang disiplin ini pada dasarnya bisa diajarkan sedini mungkin,” kata Jacinta F. Rini, Psi dari Harmawan Consulting.
KONSEP DISIPLIN PADA ANAK
Perkembangan moral seseorang dimulai dari tahapan takut akan hukuman, kemudian malu dengan lingkungan sekitar, barulah tumbuh sebuah kesadaran. Pada orang dewasa, kesadaran itu telah tumbuh, sehingga saat dia melakukan sesuatu, dia menyadari bahwa manfaat kedisiplinan itu akan kembali ke dirinya lagi.
Nah, pada anak prasekolah, perkembangan moralnya belum sampai di tahapan itu. Orang tua masih perlu menetapkan batasan nilai karena, “Pada anak usia tersebut batasan perilaku yang dimilikinya adalah kelakuan baik, kelakuan buruk, reward atau penghargaan dan punishment atau hukuman. Jadi belum atas dasar kesadaran,” rinci Rini.
LANGKAH-LANGKAH PENGAJARAN
Kedisiplinan pada anak tidak secara otomatis tumbuh, tapi awalnya adalah rutinitas yang dilakukan secara konsisten setiap hari. Melatih kedisiplinan bisa dimulai dengan hal-hal kecil sebagai berikut:
* Bangun pagi, merapikan tempat tidur, mandi, sarapan.
Sejak awal orang tua harus melakukan pola yang sama, dan urutan aktivitas ini dilakukan rutin dan konsisten. Jadi seisi rumah setiap hari harus bangun, lalu merapikan tempat tidur, mandi kemudian sarapan. Dengan begitu ia akan memahami pola yang berulang tersebut, dan tidak ada kejadian hari ini setelah bangun tidur, lalu sarapan dulu, baru mandi dan sebagainya. Beri batasan waktu yang jelas, dan segala konsekuensinya bila hal tersebut dilanggar.
* Membereskan mainan, mengembalikan buku atau barang lain ke tempat semula.
Ajarkan pada anak untuk selalu mengembalikan buku yang telah selesai “dibacanya” ataupun mainan yang telah selesai digunakannya. Kalau misalnya anak masih juga melanggar, beri hukuman yang sesuai dengan kesepakatan bersama anak. Misalnya mengurangi waktu bermainnya, dan sebagainya.
* Makan di meja makan
Jadikan makan di meja makan sebagai kebiasaan bersama seluruh keluarga. Jangan sampai orang tua “memaksa” anak untuk makan dengan duduk manis di kursi makan, sementara dia sendiri makan sambil menonton TV di ruang keluarga. Ciptakan suasana yang menyenangkan tiap kali acara makan ini berlangsung, sehingga anak ingin selalu mengulanginya, misalnya dengan membiarkan anak makan makanannya sendiri, walaupun bisa jadi makanannya berantakan, tapi biarkan ia mengulanginya.
* Membatasi waktu bermain (nonton TV, main video games, main sepeda)
Beri batasan waktu yang jelas dari jam berapa sampai jam berapa dia boleh bermain setiap harinya, dan buat juga sebuah kesepakatan bagaimana seandainya hal tersebut dilanggar.
TABEL BONUS DAN TABEL HUKUMAN
Kedua orang tua harus konsisten dan sepaham saat menjalankan kesepakatan tersebut. Bisa jadi, sekali dua kali anak akan merengek meminta “diskon”. Hadapi mereka dengan sikap yang tegas, karena sekali orang tua luluh menghadapi rengekan anak, bisa jadi besok ia akan mengulang hal sama demi memenuhi keinginannya.
Melatih disiplin pada anak bisa dibuat menyenangkan dengan membuat tabel bonus dan hukuman. Dengan menggunakan tabel ini anak dapat melihat dengan lebih konkret konsekuensi pelanggaran yang dia lakukan. Jika kita sekadar marah-marah, anak lebih sering bingung karena kemarahan orang tua adalah sesuatu yang lebih abstrak daripada konsekuensi langsung yang harus diterimanya.
Jelaskan pada anak tentang tabel bonus (lihat tabel) ini dan aturan mainnya:
* “Ini adalah tabel bonus, dan aturan mainnya.”
* “Kita akan tempelkan tabel ini di pintu kulkas.”
* “Tiap kali kamu melakukan aktivitas yang tertulis dalam daftar dengan tepat, maka kamu boleh menggambar satu gambar bintang di tabel ini.”
* “Daftar bintang itu kemudian kita jumlahkan tiap minggu, supaya tahu berapa bintang yang telah kamu kumpulkan.”
* “Kita buat kesepakatan bersama pembagian bonusnya untuk masing-masing kegiatan. Misalnya, dalam satu minggu kamu mengumpulkan;
H 1-2 bintang = Tidak ada bonus
H 3-4 bintang = Boleh nonton VCD kartun 2 kali di hari Sabtu.
H 5-7 bintang = Makan pizza di hari Minggu.
* “Tiap hari Minggu kita akan membuat daftar bonus yang baru, tapi tentu saja disesuaikan dengan kondisi yang ada.” (Dengan begitu anak akan “berjuang” mendapatkan bonus yang diinginkannya dengan cara mendisiplinkan diri).
Sebaliknya, jika ia melanggar aturan yang disekapati ia harus diberi hukuman harian dengan mengurangi kesenangannya. Jika daftar penghargaan (bonus) bisa diberikan tiap minggu, maka daftar hukuman sebaiknya diberikan harian.
Uraikan peraturan-peraturan yang harus dilakukan anak tiap harinya. Lalu, jelaskan tabel hukuman (lihat tabel) ini pada anak, dengan mengatakan :
* “Tabel hukuman ini akan Mama tempel di samping tabel bonus di pintu kulkas”
* “Kalau kamu melanggar peraturan, Mama akan memberikan tanda X pada kotak A.”
* “Kalau kamu masih melakukannya lagi, maka Mama akan memberikan tanda X pada kotak B.”
* “Kotak A, B, C, itu sebagai dispensasi kalau 3 kali kamu melanggar peraturan, belum ada hukuman yang harus kamu terima.”
* “Tapi kalau kamu sudah melanggar lebih dari tiga kali, maka kamu akan kehilangan kesenanganmu sepanjang sisa hari itu, misalnya kamu tidak boleh main sepeda, pergi bermain ke taman, dan setelah 8 kali, kamu tidak boleh tidur sama Mama malamnya.”
* “Tujuan peraturan itu dibuat untuk mengingatkan kamu, kalau kamu tidak mau menerima hukuman, maka sebaiknya mulai mematuhi peraturan yang telah kita buat sama-sama.”
Lakukan permainan ini serelaks mungkin dengan melibatkan seluruh keluarga. Menurut Rini, “Anak yang dilatih berdisiplin dalam suasana menyenangkan akan berbeda hasilnya dari anak yang dilatih dalam suasana tegang, di mana orang tuanya menunjukkan sikap otoriter dan penuh emosi.”
Anak yang mengikuti latihan disiplin dalam suasana relaks dan merasa senang, akan tumbuh menjadi pribadi yang well organized, menganggap bahwa kedisiplinan adalah sebuah kebutuhan dan hidupnya akan nyaman karena segala sesuatunya berjalan dengan teratur.
Sedangkan anak yang ditekan oleh orang tua otoriter untuk selalu berdisiplin akan menjalaninya dengan rasa takut. Nantinya ia akan tumbuh menjadi pribadi “asal tidak dimarahi orang tua”. Dia tidak mempunyai rambu-rambu internal dari dalam dirinya, harus ada figur yang “menakutkan” buat dia, baru kemudian dia mau menjalani peraturan yang ada. Dengan kata lain, semua harus ada hukumannya dulu baru dia mau menjalankan, karena pada dasarnya ia tidak memiliki tanggung jawab dari dalam diri.
Melatih Disiplin Bersama Pengasuh
Sudah jamak terjadi kalau pada saat ini anak lebih banyak tumbuh bersama pengasuh karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Walaupun begitu, tidak berarti anak tidak bisa dilatih berdisiplin. Yang penting adalah minta si pengasuh mengikuti pola yang telah dibuat di dalam keluarga. Jangan sampai kemudian anak beranggapan, “Ah, lebih enak kalau tidak ada Mama-Papa, enakan sama si Mbak, enggak banyak peraturan.”
Tinggalkan catatan untuk si pengasuh mengenai hal apa saja yang boleh dan tidak dilakukan oleh anak. Misalnya:
* Aturan Makan: Boleh makan camilan yang ada di lemari atau di kulkas. Tapi tidak boleh membeli jajanan di warung. Makan harus di meja makan atau boleh di halaman belakang saat cuaca cerah (tidak hujan dan tidak terlalu panas). Sesekali boleh makan popcorn sambil nonton VCD kartun.
* Aturan Mainan: Mainan anak-anak ada di kamar dan ruang bermain, usahakan mereka tetap bermain di ruangan itu. Buku-buku bacaan mereka ada di ruang baca. Di garasi ada lemari untuk menyimpan alat olah raga, seperti bola dan sepatu roda, tapi tidak boleh digunakan di dalam rumah. Setelah selesai bermain, anak-anak harus membantu membereskan mainannya dan mengembalikan buku bacaan di tempatnya.
* Nonton tv/main video games: Anak-anak boleh menonton VCD kartun yang ada di rak VCD. Untuk menonton acara tv, tanyakan lebih dahulu pada bapak/ibu, acara apa yang akan mereka tonton. Dan tidak boleh lebih dari satu jam tiap harinya.
* Waktu Tidur: Anak-anak sudah harus memakai baju tidur pukul 20.00 setelah sebelumnya cuci tangan, cuci kaki dan gosok gigi. Setelah di tempat tidur, lampu masih boleh menyala dan pintu kamar terbuka, tapi mereka tidak boleh turun lagi dari tempat tidur kecuali untuk ke kamar mandi.
KASIH SAYANG, KUNCI DISIPLIN
Sering kita dibuat kesal dan marah oleh ulah si kecil yang tak disiplin. Padahal, dengan sikap tegas dan konsisten disertai kasih sayang, dijamin si kecil bakal kembali disiplin.
Sebenarnya, disiplin sudah bisa ditanamkan sejak si kecil usia bayi. Sadar atau tidak, kita pun telah melakukannya. Misal, kala memberi makan atau menyusuinya tiap 3 jam sekali. Itu, kan, sama dengan kita mendidiknya agar disiplin.
Bukan berarti sudah terlambat, lo, bila kita baru mulai melatih si kecil disiplin di usia ini. Soalnya, terang dra. Lucia R.M. Royanto, MSi, MSpEd., ia masih dalam masa kanak-kanak hingga lebih mudah dibentuk ketimbang di usia remaja. Dengan demikian, ketika ia menyimpang dari aturan yang berlaku, langsung terdeteksi hingga bisa diluruskan kembali.
Nah, jika kedisiplinan ini sudah jadi kebutuhan, kala dewasa ia akan selalu hidup berdisiplin. Itulah mengapa, para ahli selalu menganjurkan agar disiplin ditanamkan sejak dini karena lebih membekas dalam diri anak sampai ia dewasa. Tentu mendisiplinkannya harus dalam semua aspek siklus kehidupan anak, dari bangun tidur sampai tidur kembali.
HARUS KONSISTEN
Tapi, dalam mendisiplinkan anak tak bisa sekaligus, ya, Bu-Pak, melainkan harus bertahap. Kalau sekaligus, “ia akan merasa terpaksa alias terpenjara hingga ia pun akan selalu mencari jalan untuk bisa lolos dari penjara itu,” terang Lusi, panggilan akrab staf pengajar di Fakultas Psikologi UI ini.
Selain itu, kita pun harus konsisten. Kalau tidak, “sia-sialah pendisiplinan yang kita lakukan,” tandas Lusi. Karena dengan inkonsistennya melaksanakan disiplin pada si kecil, membuat ia makin lama makin melenceng dari jalur yang ditetapkan. Jadi, sedikit demi sedikit ia tak disiplin lagi dalam kehidupannya.
Tak hanya itu, ketakkonsistenan kita pun sama saja dengan memperlihatkan kelemahan kita pada si kecil, hingga ia bisa dengan mudah memanfaatkan kelemahan itu. Misal, kala kita mengingatkannya untuk berhenti bermain dan menyuruhnya pulang ke rumah karena sudah waktunya mandi, ia bisa saja menawar, “Nanti, ya, Ma, sebentar lagi.” Begitu, kan, yang kerap terjadi?
Terlebih bila kita terima begitu saja penawarannya, “tak tertutup kemungkinan ia akan melakukan hal sama dengan berbagai trik yang berbeda.” Apalagi anak-anak usia ini, kan, lagi “bandel-bandel”nya dan lincah-lincahnya, hingga ia senang sekali memanfaatkan kelemahan orang tuanya.
Itulah mengapa, tekan Lusi, dalam mendisiplinkan anak, kita sebaiknya menciptakan suasana yang kondusif di rumah. Jika sudah tiba waktu tidur, misal, kita dan anggota keluarga lain harus dapat menciptakan suasana hening, jangan malah ada yang masih menonton TV. Ingat, lo, anak usia ini masih dalam tahap modeling. Jadi, bagaimana ia mau disiplin bila kita tak pernah memberikan contoh yang baik kepadanya. Bukan begitu, Bu-Pak?
PENUH KASIH SAYANG
Tentunya, kita pun harus lihat situasi dan kondisi lingkungan, serta diri si anak sendiri. Jangan sampai, kala si kecil sakit, misal, kita tak mentolerir ketakdisiplinannya. Lain hal jika tanpa sebab atau alasan yang jelas ia melanggar aturan yang digariskan bersama dalam keluarga, “kita harus mengambil sikap untuk mengembalikan anak ke jalan yang benar,” bilang Lusi.
Selain itu, dalam mendisiplinkan anak usia ini harus dilakukan dengan cara tegas namun penuh kasih sayang. Jika cuma tegas yang diterapkan, kita cenderung bersikap kasar. Tapi bukan berarti tegas itu kasar, lo. Justru bila kasar, berdampak pada emosi anak; ia bisa saja sakit hati. Kalau sudah begini, malah runyam, kan?
Itulah mengapa, ketegasan dalam menerapkan disiplin harus dibarengi kasih sayang hingga anak tak merasa dimusuhi atau malah dikasari. Dengan demikian, ia pun dengan senang hati akan menjalankan aturan yang berlaku. Tak hanya itu, ia juga tetap merasa dicintai orang tuanya.
HUKUM PERILAKUNYA
Bukan berarti kalau ia melanggar disiplin lantas kita tak boleh menghukumnya, lo. Justru hukuman juga perlu dalam mendisiplinkan anak bila ia melakukan sesuatu di luar aturan yang ditetapkan. Hanya saja, dalam menghukum, kita harus ingat diri. Maksudnya, yang dihukum haruslah perilakunya, bukan orangnya. Misal, sepanjang hari ia main melulu sampai lupa makan dan mandi. Nah, yang kita hukum adalah perilakunya yang lupa waktu atau yang membuatnya jadi tak disiplin.
Jadi, jangan malah melakukan hukuman fisik terhadap si kecil, ya, Bu-Pak. Hukuman fisik yang terlalu sering, terang Lusi, hanya membuat anak jadi tak takut lagi alias kebal. “Ia merasa sudah terbiasa jadinya.” Lagi pula, si kecil juga akan sakit hati, lo. Soalnya, “perbuatan orang tua yang selalu menghukum secara fisik menjadi pengalaman traumatis buat anak dan akan membekas terus dalam dirinya. Bisa jadi akhirnya ia mendendam, tapi bisa jadi pula ia akan selalu merasa salah dalam melakukan sesuatu.”
Yang terbaik, terapkan sanksi atau konsekuensi karena lebih bersifat mendidik. Misal, didenda tak boleh ikut jalan-jalan di hari Minggu atau dilarang menonton TV. “Bisa juga dengan orang tua membiarkan atau tak mengacuhkannya.” Cara lain, buat perjanjian bersama dengannya tentang sanksi yang diberikan bila ia melanggar aturan yang ditetapkan.
Jikapun kita terpaksa menerapkan hukuman, beri tahu alasannya hingga ia tak selalu bertanya-tanya, “Aku berbuat begitu saja, kok, dihukum.” Selain itu, tanpa penjelasan tak tertutup kemungkinan ia malah akan berbuat serupa lagi. Kalau sudah begitu, ia malah jadi enggak disiplin, kan?
Lain hal dalam keadaan darurat semisal anak mau lari ke jalan, tentu kita harus mengambil tindakan cepat dengan cara menariknya. Jadi, tanpa kompromi lagi. Kalau tidak, ia akan keburu melakukan hal-hal yang tak diinginkan; menyeberang jalan saat lalu lintas ramai, misal. “Tapi tindakan hukuman seperti ini cukup dilakukan dalam keadaan darurat saja, ya, tak boleh diterapkan sehari-hari.” Soalnya, berdampak buruk buat perkembangan anak. “Ia akan selalu merasa salah atau tak mampu untuk melakukan segala hal.”
BERI REWARD
Tapi jangan cuma memberi sanksi atau konsekuensi saja, ya, Bu-Pak. Si kecil juga perlu diberi reward atau hadiah bila ia taat aturan atau berdisiplin. Reward-nya bisa berupa barang, bisa pula kasih sayang semisal pelukan dan ciuman. Jadi, jangan melulu dikasih, misal, hadiah mainan, ya. “Justru reward berupa kasih sayanglah yang lebih berarti buat anak dan akan terus membekas dalam dirinya.” Hingga, hubungan orang tua dan anak pun jadi lebih erat.
Sayangnya, ujar Lusi, pemberian reward kasih sayang jarang dilakukan orang tua di Indonesia. “Baik orang tua maupun anak cenderung risi melakukannya atau diperlakukan demikian.” Selain itu, masih banyak orang tua menganggap, bila anak disiplin itu sudah seharusnya hingga tak usah diberi apa-apa. Itu sebab, kalau anak berbuat salah, orang tua langsung memberi ganjaran. Tapi coba kalau anak disiplin atau berprestasi, malah tak mendapat apa-apa. Padahal, anak, kan, juga butuh reward selain sanksi.
Jadi, Bu-Pak, jangan pelit memberi penghargaan kala si kecil disiplin, ya. Sebaliknya, jangan ingin menghukum terus kala ia melanggar aturan, karena disiplin bukanlah hukuman. Sering, kan, kita salah kaprah menyamakan hukuman dengan disiplin. Padahal, disiplin adalah aturan atau patokan yang harus dijalankan anak demi kebaikannya, hingga ia pun harus menerima konsekuensinya bila melanggar. Bukankah konsekuensi itu pula yang harus ia terima kala melanggar aturan sosial? Misal, dijauhkan teman-temannya. Sebaliknya, ia bisa diterima dalam pergaulan jika tahu aturan.
Indah/Gazali Solahuddin
DISIPLIN MEMBUAT SI KECIL BAHAGIA
Sejak dini si kecil harus diperkenalkan pada aturan. Ini penting untuk penyesuaian dirinya kelak sebagai anggota masyarakat. Tapi, bagaimana caranya agar si kecil mematuhi disiplin?
“Saya cenderung sangat lentur dalam soal disiplin. Beda dengan suami saya.Dia banyak sekali menerapkan aturan pada anak kami. Padahal, anak kami masih kecil, baru 2 tahun. Kasihan, kan, jika dia terlalu banyak dilarang,” ungkap Nadia, ibu seorang putri.
Para orang tua, terutama ibu, umumnya sulit bersikap tegas menghadapi si kecil. Apalagi jika si kecil sudah menunjukkan mimik wajah memelas, aduh, rasanya kasihan sekali. Jadi, deh, permintaan si kecil yang tadinya ditolak, akhirnya dikabulkan juga. Habis, enggak tega, sih.
Padahal, dengan ibu atau ayah bersikap demikian, sama juga mengajari anak untuk tak mematuhi aturan atau berdisiplin. Nah, jika kejadian ini sering terulang, si kecil tak akan tahu, mana yang sebenarnya boleh dan mana yang sebenarnya dilarang.
Apalagi jika si kecil diizinkan melakukan apapun yang ia ingin lakukan kala ia menginginkannya, ini lebih parah lagi. Kelak, ia akan mengalami kesulitan setelah memasuki lingkungan di luar rumah. Misalnya, sekolah. “Di sekolah, kan, ada aturan-aturan. Misalnya, mau masuk ke kelas harus berbaris dulu. Atau, di kelas ada saat di mana anak harus duduk tenang. Jika anak tak biasa disiplin, peraturan itu enggak mungkin bisa dia lakukan,” terang psikolog Rahmitha P. Soendjojo.
Harus diingat, lanjut psikolog yang biasa dipanggil Mitha ini, mendisiplinkan anak bukan semata-mata agar anak berdisiplin dalam waktu seperti waktu makan, waktu tidur, dan lainnya. Tapi juga berdampak pada hal-hal lain dalam kehidupan, seperti menghargai orang lain. “Jika anak bisa duduk tenang di kelas, kan dia enggak mengganggu teman-temannya. Jika dia teratur, itu berarti dia belajar untuk bisa juga menghargai kepentingan orang lain. Dia tahu bagaimana adjustment, menyesuaikan diri di lingkungan itu,” tuturnya.
Para ahli mengatakan, anak-anak yang dibesarkan dalam situasi di mana setiap orang diperbolehkan melakukan segala sesuatu yang mereka inginkan kala mereka menginginkannya, umumnya tak akan disukai oleh orang-orang di luar rumahnya. Sebaliknya, anak-anak yang pada saat ini belajar untuk hidup berdasarkan peraturan, cenderung tumbuh menjadi anak yang lebih bahagia dan berkelakuan lebih baik.
Lantaran itu, mendisiplinkan anak harus dilakukan sejak sedini mungkin. Nah, usia batita merupakan usia yang tepat untuk mulai memperkenalkan anak pada disiplin. Sebab, terang Mitha, “Anak umur ini, kan, belum tahu mana yang benar dan salah, mana yang boleh dan tidak. Mereka juga belum dapat mengontrol dirinya. Jadi, orang tua harus memperkenalkannya dengan aturan.”
PAKAI TAKTIK
Tapi tentunya tak gampang mendisiplinkan anak batita. Sebab, di usia ini, si kecil mulai mengembangkan kemandiriannya. Ia mulai mengenal, “Saya maunya ini,” atau “Ini punyaku.” Sehingga, ia berkecenderungan untuk menolak atau menunjukkan sikap bertolak belakang terhadap apa yang orang tua inginkan darinya.
Selain itu, anak usia ini sedang dalam tahap eksplorasi. Ia belajar tentang dunianya melalui eksperimen, pengamatan sebab-akibat, dan mencobai lingkungannya termasuk orang dewasa yang ada di lingkungan itu.
Tak heran jika anak usia ini kerap dikatakan “susah diatur”. Tapi tak berarti si kecil tak bisa diatur atau dilatih berdisiplin. Hanya saja, seperti dikatakan Mitha, orang tua perlu taktik tertentu untuk mendisiplinkannya.
“Misalnya kita mau menerapkan jam tidur. Kita enggak bisa berharap, dia mau masuk ke kamarnya dan langsung tidur. Apalagi kalau dia belum mengantuk. Tapi tetap kita bawa ke kamar, lalu kita giring dia untuk memasuki satu aktivitas lain yang sifatnya untuk cooling down dia. Entah dengan membacakan buku cerita atau mendongeng, dan sebagainya. Dengan begitu, lama-lama dia akan tertidur juga,” papar Mitha.
Jika si kecil menolak dan minta ke luar kamar lagi, menurut Mitha, tetap bisa diatasi. “Katakan dengan tegas tapi lembut, ‘Sekarang bukan waktunya main.’ Jika dia menjerit-jerit, gendong. Kalau kita gendong dia dengan sayang sambil kita beri tahu, ‘Tidak. Mama ingin kamu tidak ke luar,’ dia bisa merasakan, kok,” tutur psikolog dari Data Informasi Anak – Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (DIA-YKAI) ini.
Yang penting, tegas Mitha, orang tua harus tetap konsisten dan konsekuen. “Jangan karena enggak tega, kita lalu membawa si anak ke luar kamar lagi,” ujarnya. Memang, aku Mitha, pada mulanya terasa berat. Tapi jika orang tua tetap konsisten (jam 20:00 harus tidur, misalnya) dan konsekuen (anak tetap di dalam kamar apapun yang terjadi), lama-lama anak pun akan mengerti.
JANGAN ASAL MELARANG
Cara menyatakan aturan juga penting, karena akan menentukan berhasil-tidaknya disiplin. Jadi, jangan hanya memberikan aturan tapi juga dijelaskan mengapa aturan itu diadakan. Katakan pada si kecil, “Kamu harus tidur sekarang supaya besok kamu bisa punya banyak tenaga lagi untuk bermain.” Atau, “Ini rak sepatu, tempat menyimpan sepatu. Jadi kalau kamu mau pakai sepatu, kamu tidak bingung lagi mencarinya.”
Begitu pun dalam melarang anak. Jangan hanya mengatakan, “Pokoknya, kamu tidak boleh nonton TV lagi!”. Tapi katakan, “Kamu tidak boleh nonton TV lagi karena sekarang waktunya tidur siang.” Atau, “Kamu tidak boleh makan cokelat karena kamu sedang batuk.” Contoh lain, “Kamu tidak boleh mencoret-coret tembok karena temboknya jadi kotor.”
Aturan/larangan juga harus jelas bagi anak. Misalnya, “Kamu boleh main di luar rumah, asal tidak jauh-jauh.” Aturan ini akan membuat anak bingung. “Tidak jauh-jauh”nya itu sampai di mana? Lagipula, anak usia ini belum dapat diminta untuk menentukan sendiri. Lebih baik katakan, “Kamu boleh main di luar rumah, tapi hanya sampai di depan pintu pagar halaman depan rumah kita.”
Selain itu, kita juga perlu memberikan alternatif perbuatan atau tingkah laku yang bisa diterima sebagai gantinya. Mitha mengingatkan, kemampuan berpikir alternatif anak usia ini masih belum berkembang sempurna. Karena itu, terangnya, “Kita harus memberikan bantuan jalan kepada anak untuk melakukan hal lain yang kita setujui.”
Jadi, bila kita melarang, “Kamu tidak boleh main ke rumah tetangga,” misalnya; maka kita harus memberikan alternatifnya, “tapi kamu boleh minta temanmu main ke rumah kita.” Contoh lain, “Kamu tidak boleh mencoret-coret di tembok, tapi kamu boleh mencoret-coret di atas kertas.” Atau, “Kamu tidak boleh meninju kakakmu. Kalau kamu mau bertinju, maka kamu boleh meninju bantal.”
Dengan memberikan alternatif, terang Mitha, anak jadi tahu dengan jelas tentang mana yang boleh dan tak boleh ia lakukan. “Kita pun jadi enggak menghambat perkembangan dia,” katanya. Contoh, bila kita hanya melarang si kecil mencoret-coret di tembok sementara kita tak memberikan alternatif di mana ia boleh melakukannya, maka itu dapat menghambat perkembangan kreativitasnya.
Contoh lain, perkembangan emosi. Si kecil marah kepada kakaknya dan ingin melampiaskan kemarahannya dengan memukul si kakak. Nah, dengan memberikan alternatif seperti meninju bantal, maka ia dapat menyalurkan perasaannya itu.
JIKA AYAH-IBU BERBEDA
Yang tak kalah penting adalah sikap ayah-ibu dalam mendisiplinkan anak. Jangan sampai, ayah membolehkan sementara ibu melarang. “Jika ada perbedaan antara ayah-ibu atau selalu bertolak belakang, anak akan bingung. Selain itu, anak bisa mencari salah satu figur orang tua sebagai pelindung. Misalnya ia ingin sesuatu dan ia tahu ibunya tak akan membolehkan, maka ia akan ‘lari’ ke ayahnya yang pasti akan membolehkan,” terang Mitha.
Perbedaan ini, tambah Mitha, juga akan membuat anak tak tahu aturan yang jelas itu seperti apa. “Ini, kan, bisa menimbulkan konflik dalam diri anak,” tukasnya. Apalagi jika perbedaan itu kerap terjadi dan tak pernah dijembatani, lama-lama si kecil akan selalu timbul keraguan yang bisa terbawa sampai ia dewasa.
Ditambah lagi, tak ada pihak lain semisal keluarga besar yang mengarahkan si kecil. “Bukan tak mungkin si anak kelak menjadi tak tahu mana yang sebetulnya salah dan mana yang sebetulnya memang benar. Ada kemungkinan juga, nantinya ia berkembang menjadi orang yang tak mau mengakui kesalahannya meskipun ia tahu telah melakukan kesalahan,” tutur Mitha.
Karena itu, Mitha menegaskan, ayah-ibu boleh saja berbeda, tapi untuk beberapa hal tertentu apalagi yang berkaitan dengan pendidikan anak, maka harus ada kesepakatan. Dengan demikian, anak bisa berkembang optimal serta memiliki kepribadian yang matang dan baik.
Agar Disiplin Efektif
* Mulailah dari aktivitas sehari-hari. Misal, keteraturan dalam hal waktu makan, tidur, mandi, main, nonton TV, dan sebagainya. Begitu pun dalam hal mengganti pakaian tidur ketika akan tidur, meletakkan baju kotor di tempatnya, mencuci tangan sebelum makan, dan sebagainya.
* Jangan terlalu banyak aturan karena akan menghambat dorongan alaminya untuk mandiri. Akibatnya, ia akan memberontak. Bisa juga ia jadi tunduk, semata karena takut dihukum.
* Tetapkan dan terapkan aturan/larangan dengan kasih sayang. Ini memberinya kesempatan untuk memahami mengapa ia harus berdisiplin. Aturan yang otoriter membuat ia kehilangan disiplin dirinya saat berada di luar pengawasan Anda. Ia pun dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang tak mampu membuat pilihan secara bijaksana.
* Beri perhatian kala ia bersikap baik. Seringlah memuji atau memberinya penghargaan kala ia mematuhi aturan.
* Jangan bilang ia anak nakal/bandel/jahat atau lainnya yang sejenis itu, kala ia melanggar disiplin. Lebih baik katakan, “Bunda enggak suka dengan cara kamu menyimpan sepatu di sembarang tempat.” Ingat, yang dikritik ialah perilakunya.
* Jangan pakai kekerasan. Sekalipun hanya dengan sedikit cubitan atau sentilan. Karena, sekali saja dilakukan, Anda akan terdorong untuk melakukannya lagi di lain waktu. Lama-lama si kecil belajar bahwa kekerasan merupakan satu bentuk penyelesaian masalah.
* Beri hukuman sesuai pelanggarannya. Misal, ia mencoret-coret tembok. Jangan hukum ia dengan melarangnya nonton TV. Tak ada hubungan sama sekali antara nonton TV dengan mencoret-coret tembok. Sebaiknya, ajak si kecil bersama-sama Anda membersihkan bekas coret-coretan itu.
* Jangan berharap si kecil akan segera berdisiplin begitu aturan ditetapkan dan diterapkan. Perlu waktu untuk mengulang-ulang bahwa sesuatu itu salah atau tak boleh dilakukan, sebelum akhirnya anak mengerti. Ingat, kemampuan berpikir anak usia ini masih terbatas.
* Anda pun harus disiplin. Ingat, salah satu karakteristik anak usia ini ialah meniru, terutama meniru ayah-ibunya. Nah, jadilah model yang benar bagi si kecil.
* Ciptakan lingkungan yang aman di rumah, antara lain dengan menyingkirkan segala barang/benda yang dapat membahayakan si kecil. Sehingga, Anda tak harus bikin banyak aturan/larangan dan ia pun bisa memuaskan rasa ingin tahunya dengan aman.
Julie Erikania (from Rizkisaputro.wordpress.com)
Alangkah repotnya bila setiap pulang kantor Anda masih punya pekerjaan ekstra untuk mengingatkan anak, dari membereskan mainannya sampai menggosok gigi sebelum tidur. Padahal sebenarnya kebiasaan itu bisa dilatih lewat penanaman disiplin. “Konsep tentang disiplin ini pada dasarnya bisa diajarkan sedini mungkin,” kata Jacinta F. Rini, Psi dari Harmawan Consulting.
KONSEP DISIPLIN PADA ANAK
Perkembangan moral seseorang dimulai dari tahapan takut akan hukuman, kemudian malu dengan lingkungan sekitar, barulah tumbuh sebuah kesadaran. Pada orang dewasa, kesadaran itu telah tumbuh, sehingga saat dia melakukan sesuatu, dia menyadari bahwa manfaat kedisiplinan itu akan kembali ke dirinya lagi.
Nah, pada anak prasekolah, perkembangan moralnya belum sampai di tahapan itu. Orang tua masih perlu menetapkan batasan nilai karena, “Pada anak usia tersebut batasan perilaku yang dimilikinya adalah kelakuan baik, kelakuan buruk, reward atau penghargaan dan punishment atau hukuman. Jadi belum atas dasar kesadaran,” rinci Rini.
LANGKAH-LANGKAH PENGAJARAN
Kedisiplinan pada anak tidak secara otomatis tumbuh, tapi awalnya adalah rutinitas yang dilakukan secara konsisten setiap hari. Melatih kedisiplinan bisa dimulai dengan hal-hal kecil sebagai berikut:
* Bangun pagi, merapikan tempat tidur, mandi, sarapan.
Sejak awal orang tua harus melakukan pola yang sama, dan urutan aktivitas ini dilakukan rutin dan konsisten. Jadi seisi rumah setiap hari harus bangun, lalu merapikan tempat tidur, mandi kemudian sarapan. Dengan begitu ia akan memahami pola yang berulang tersebut, dan tidak ada kejadian hari ini setelah bangun tidur, lalu sarapan dulu, baru mandi dan sebagainya. Beri batasan waktu yang jelas, dan segala konsekuensinya bila hal tersebut dilanggar.
* Membereskan mainan, mengembalikan buku atau barang lain ke tempat semula.
Ajarkan pada anak untuk selalu mengembalikan buku yang telah selesai “dibacanya” ataupun mainan yang telah selesai digunakannya. Kalau misalnya anak masih juga melanggar, beri hukuman yang sesuai dengan kesepakatan bersama anak. Misalnya mengurangi waktu bermainnya, dan sebagainya.
* Makan di meja makan
Jadikan makan di meja makan sebagai kebiasaan bersama seluruh keluarga. Jangan sampai orang tua “memaksa” anak untuk makan dengan duduk manis di kursi makan, sementara dia sendiri makan sambil menonton TV di ruang keluarga. Ciptakan suasana yang menyenangkan tiap kali acara makan ini berlangsung, sehingga anak ingin selalu mengulanginya, misalnya dengan membiarkan anak makan makanannya sendiri, walaupun bisa jadi makanannya berantakan, tapi biarkan ia mengulanginya.
* Membatasi waktu bermain (nonton TV, main video games, main sepeda)
Beri batasan waktu yang jelas dari jam berapa sampai jam berapa dia boleh bermain setiap harinya, dan buat juga sebuah kesepakatan bagaimana seandainya hal tersebut dilanggar.
TABEL BONUS DAN TABEL HUKUMAN
Kedua orang tua harus konsisten dan sepaham saat menjalankan kesepakatan tersebut. Bisa jadi, sekali dua kali anak akan merengek meminta “diskon”. Hadapi mereka dengan sikap yang tegas, karena sekali orang tua luluh menghadapi rengekan anak, bisa jadi besok ia akan mengulang hal sama demi memenuhi keinginannya.
Melatih disiplin pada anak bisa dibuat menyenangkan dengan membuat tabel bonus dan hukuman. Dengan menggunakan tabel ini anak dapat melihat dengan lebih konkret konsekuensi pelanggaran yang dia lakukan. Jika kita sekadar marah-marah, anak lebih sering bingung karena kemarahan orang tua adalah sesuatu yang lebih abstrak daripada konsekuensi langsung yang harus diterimanya.
Jelaskan pada anak tentang tabel bonus (lihat tabel) ini dan aturan mainnya:
* “Ini adalah tabel bonus, dan aturan mainnya.”
* “Kita akan tempelkan tabel ini di pintu kulkas.”
* “Tiap kali kamu melakukan aktivitas yang tertulis dalam daftar dengan tepat, maka kamu boleh menggambar satu gambar bintang di tabel ini.”
* “Daftar bintang itu kemudian kita jumlahkan tiap minggu, supaya tahu berapa bintang yang telah kamu kumpulkan.”
* “Kita buat kesepakatan bersama pembagian bonusnya untuk masing-masing kegiatan. Misalnya, dalam satu minggu kamu mengumpulkan;
H 1-2 bintang = Tidak ada bonus
H 3-4 bintang = Boleh nonton VCD kartun 2 kali di hari Sabtu.
H 5-7 bintang = Makan pizza di hari Minggu.
* “Tiap hari Minggu kita akan membuat daftar bonus yang baru, tapi tentu saja disesuaikan dengan kondisi yang ada.” (Dengan begitu anak akan “berjuang” mendapatkan bonus yang diinginkannya dengan cara mendisiplinkan diri).
Sebaliknya, jika ia melanggar aturan yang disekapati ia harus diberi hukuman harian dengan mengurangi kesenangannya. Jika daftar penghargaan (bonus) bisa diberikan tiap minggu, maka daftar hukuman sebaiknya diberikan harian.
Uraikan peraturan-peraturan yang harus dilakukan anak tiap harinya. Lalu, jelaskan tabel hukuman (lihat tabel) ini pada anak, dengan mengatakan :
* “Tabel hukuman ini akan Mama tempel di samping tabel bonus di pintu kulkas”
* “Kalau kamu melanggar peraturan, Mama akan memberikan tanda X pada kotak A.”
* “Kalau kamu masih melakukannya lagi, maka Mama akan memberikan tanda X pada kotak B.”
* “Kotak A, B, C, itu sebagai dispensasi kalau 3 kali kamu melanggar peraturan, belum ada hukuman yang harus kamu terima.”
* “Tapi kalau kamu sudah melanggar lebih dari tiga kali, maka kamu akan kehilangan kesenanganmu sepanjang sisa hari itu, misalnya kamu tidak boleh main sepeda, pergi bermain ke taman, dan setelah 8 kali, kamu tidak boleh tidur sama Mama malamnya.”
* “Tujuan peraturan itu dibuat untuk mengingatkan kamu, kalau kamu tidak mau menerima hukuman, maka sebaiknya mulai mematuhi peraturan yang telah kita buat sama-sama.”
Lakukan permainan ini serelaks mungkin dengan melibatkan seluruh keluarga. Menurut Rini, “Anak yang dilatih berdisiplin dalam suasana menyenangkan akan berbeda hasilnya dari anak yang dilatih dalam suasana tegang, di mana orang tuanya menunjukkan sikap otoriter dan penuh emosi.”
Anak yang mengikuti latihan disiplin dalam suasana relaks dan merasa senang, akan tumbuh menjadi pribadi yang well organized, menganggap bahwa kedisiplinan adalah sebuah kebutuhan dan hidupnya akan nyaman karena segala sesuatunya berjalan dengan teratur.
Sedangkan anak yang ditekan oleh orang tua otoriter untuk selalu berdisiplin akan menjalaninya dengan rasa takut. Nantinya ia akan tumbuh menjadi pribadi “asal tidak dimarahi orang tua”. Dia tidak mempunyai rambu-rambu internal dari dalam dirinya, harus ada figur yang “menakutkan” buat dia, baru kemudian dia mau menjalani peraturan yang ada. Dengan kata lain, semua harus ada hukumannya dulu baru dia mau menjalankan, karena pada dasarnya ia tidak memiliki tanggung jawab dari dalam diri.
Melatih Disiplin Bersama Pengasuh
Sudah jamak terjadi kalau pada saat ini anak lebih banyak tumbuh bersama pengasuh karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Walaupun begitu, tidak berarti anak tidak bisa dilatih berdisiplin. Yang penting adalah minta si pengasuh mengikuti pola yang telah dibuat di dalam keluarga. Jangan sampai kemudian anak beranggapan, “Ah, lebih enak kalau tidak ada Mama-Papa, enakan sama si Mbak, enggak banyak peraturan.”
Tinggalkan catatan untuk si pengasuh mengenai hal apa saja yang boleh dan tidak dilakukan oleh anak. Misalnya:
* Aturan Makan: Boleh makan camilan yang ada di lemari atau di kulkas. Tapi tidak boleh membeli jajanan di warung. Makan harus di meja makan atau boleh di halaman belakang saat cuaca cerah (tidak hujan dan tidak terlalu panas). Sesekali boleh makan popcorn sambil nonton VCD kartun.
* Aturan Mainan: Mainan anak-anak ada di kamar dan ruang bermain, usahakan mereka tetap bermain di ruangan itu. Buku-buku bacaan mereka ada di ruang baca. Di garasi ada lemari untuk menyimpan alat olah raga, seperti bola dan sepatu roda, tapi tidak boleh digunakan di dalam rumah. Setelah selesai bermain, anak-anak harus membantu membereskan mainannya dan mengembalikan buku bacaan di tempatnya.
* Nonton tv/main video games: Anak-anak boleh menonton VCD kartun yang ada di rak VCD. Untuk menonton acara tv, tanyakan lebih dahulu pada bapak/ibu, acara apa yang akan mereka tonton. Dan tidak boleh lebih dari satu jam tiap harinya.
* Waktu Tidur: Anak-anak sudah harus memakai baju tidur pukul 20.00 setelah sebelumnya cuci tangan, cuci kaki dan gosok gigi. Setelah di tempat tidur, lampu masih boleh menyala dan pintu kamar terbuka, tapi mereka tidak boleh turun lagi dari tempat tidur kecuali untuk ke kamar mandi.
KASIH SAYANG, KUNCI DISIPLIN
Sering kita dibuat kesal dan marah oleh ulah si kecil yang tak disiplin. Padahal, dengan sikap tegas dan konsisten disertai kasih sayang, dijamin si kecil bakal kembali disiplin.
Sebenarnya, disiplin sudah bisa ditanamkan sejak si kecil usia bayi. Sadar atau tidak, kita pun telah melakukannya. Misal, kala memberi makan atau menyusuinya tiap 3 jam sekali. Itu, kan, sama dengan kita mendidiknya agar disiplin.
Bukan berarti sudah terlambat, lo, bila kita baru mulai melatih si kecil disiplin di usia ini. Soalnya, terang dra. Lucia R.M. Royanto, MSi, MSpEd., ia masih dalam masa kanak-kanak hingga lebih mudah dibentuk ketimbang di usia remaja. Dengan demikian, ketika ia menyimpang dari aturan yang berlaku, langsung terdeteksi hingga bisa diluruskan kembali.
Nah, jika kedisiplinan ini sudah jadi kebutuhan, kala dewasa ia akan selalu hidup berdisiplin. Itulah mengapa, para ahli selalu menganjurkan agar disiplin ditanamkan sejak dini karena lebih membekas dalam diri anak sampai ia dewasa. Tentu mendisiplinkannya harus dalam semua aspek siklus kehidupan anak, dari bangun tidur sampai tidur kembali.
HARUS KONSISTEN
Tapi, dalam mendisiplinkan anak tak bisa sekaligus, ya, Bu-Pak, melainkan harus bertahap. Kalau sekaligus, “ia akan merasa terpaksa alias terpenjara hingga ia pun akan selalu mencari jalan untuk bisa lolos dari penjara itu,” terang Lusi, panggilan akrab staf pengajar di Fakultas Psikologi UI ini.
Selain itu, kita pun harus konsisten. Kalau tidak, “sia-sialah pendisiplinan yang kita lakukan,” tandas Lusi. Karena dengan inkonsistennya melaksanakan disiplin pada si kecil, membuat ia makin lama makin melenceng dari jalur yang ditetapkan. Jadi, sedikit demi sedikit ia tak disiplin lagi dalam kehidupannya.
Tak hanya itu, ketakkonsistenan kita pun sama saja dengan memperlihatkan kelemahan kita pada si kecil, hingga ia bisa dengan mudah memanfaatkan kelemahan itu. Misal, kala kita mengingatkannya untuk berhenti bermain dan menyuruhnya pulang ke rumah karena sudah waktunya mandi, ia bisa saja menawar, “Nanti, ya, Ma, sebentar lagi.” Begitu, kan, yang kerap terjadi?
Terlebih bila kita terima begitu saja penawarannya, “tak tertutup kemungkinan ia akan melakukan hal sama dengan berbagai trik yang berbeda.” Apalagi anak-anak usia ini, kan, lagi “bandel-bandel”nya dan lincah-lincahnya, hingga ia senang sekali memanfaatkan kelemahan orang tuanya.
Itulah mengapa, tekan Lusi, dalam mendisiplinkan anak, kita sebaiknya menciptakan suasana yang kondusif di rumah. Jika sudah tiba waktu tidur, misal, kita dan anggota keluarga lain harus dapat menciptakan suasana hening, jangan malah ada yang masih menonton TV. Ingat, lo, anak usia ini masih dalam tahap modeling. Jadi, bagaimana ia mau disiplin bila kita tak pernah memberikan contoh yang baik kepadanya. Bukan begitu, Bu-Pak?
PENUH KASIH SAYANG
Tentunya, kita pun harus lihat situasi dan kondisi lingkungan, serta diri si anak sendiri. Jangan sampai, kala si kecil sakit, misal, kita tak mentolerir ketakdisiplinannya. Lain hal jika tanpa sebab atau alasan yang jelas ia melanggar aturan yang digariskan bersama dalam keluarga, “kita harus mengambil sikap untuk mengembalikan anak ke jalan yang benar,” bilang Lusi.
Selain itu, dalam mendisiplinkan anak usia ini harus dilakukan dengan cara tegas namun penuh kasih sayang. Jika cuma tegas yang diterapkan, kita cenderung bersikap kasar. Tapi bukan berarti tegas itu kasar, lo. Justru bila kasar, berdampak pada emosi anak; ia bisa saja sakit hati. Kalau sudah begini, malah runyam, kan?
Itulah mengapa, ketegasan dalam menerapkan disiplin harus dibarengi kasih sayang hingga anak tak merasa dimusuhi atau malah dikasari. Dengan demikian, ia pun dengan senang hati akan menjalankan aturan yang berlaku. Tak hanya itu, ia juga tetap merasa dicintai orang tuanya.
HUKUM PERILAKUNYA
Bukan berarti kalau ia melanggar disiplin lantas kita tak boleh menghukumnya, lo. Justru hukuman juga perlu dalam mendisiplinkan anak bila ia melakukan sesuatu di luar aturan yang ditetapkan. Hanya saja, dalam menghukum, kita harus ingat diri. Maksudnya, yang dihukum haruslah perilakunya, bukan orangnya. Misal, sepanjang hari ia main melulu sampai lupa makan dan mandi. Nah, yang kita hukum adalah perilakunya yang lupa waktu atau yang membuatnya jadi tak disiplin.
Jadi, jangan malah melakukan hukuman fisik terhadap si kecil, ya, Bu-Pak. Hukuman fisik yang terlalu sering, terang Lusi, hanya membuat anak jadi tak takut lagi alias kebal. “Ia merasa sudah terbiasa jadinya.” Lagi pula, si kecil juga akan sakit hati, lo. Soalnya, “perbuatan orang tua yang selalu menghukum secara fisik menjadi pengalaman traumatis buat anak dan akan membekas terus dalam dirinya. Bisa jadi akhirnya ia mendendam, tapi bisa jadi pula ia akan selalu merasa salah dalam melakukan sesuatu.”
Yang terbaik, terapkan sanksi atau konsekuensi karena lebih bersifat mendidik. Misal, didenda tak boleh ikut jalan-jalan di hari Minggu atau dilarang menonton TV. “Bisa juga dengan orang tua membiarkan atau tak mengacuhkannya.” Cara lain, buat perjanjian bersama dengannya tentang sanksi yang diberikan bila ia melanggar aturan yang ditetapkan.
Jikapun kita terpaksa menerapkan hukuman, beri tahu alasannya hingga ia tak selalu bertanya-tanya, “Aku berbuat begitu saja, kok, dihukum.” Selain itu, tanpa penjelasan tak tertutup kemungkinan ia malah akan berbuat serupa lagi. Kalau sudah begitu, ia malah jadi enggak disiplin, kan?
Lain hal dalam keadaan darurat semisal anak mau lari ke jalan, tentu kita harus mengambil tindakan cepat dengan cara menariknya. Jadi, tanpa kompromi lagi. Kalau tidak, ia akan keburu melakukan hal-hal yang tak diinginkan; menyeberang jalan saat lalu lintas ramai, misal. “Tapi tindakan hukuman seperti ini cukup dilakukan dalam keadaan darurat saja, ya, tak boleh diterapkan sehari-hari.” Soalnya, berdampak buruk buat perkembangan anak. “Ia akan selalu merasa salah atau tak mampu untuk melakukan segala hal.”
BERI REWARD
Tapi jangan cuma memberi sanksi atau konsekuensi saja, ya, Bu-Pak. Si kecil juga perlu diberi reward atau hadiah bila ia taat aturan atau berdisiplin. Reward-nya bisa berupa barang, bisa pula kasih sayang semisal pelukan dan ciuman. Jadi, jangan melulu dikasih, misal, hadiah mainan, ya. “Justru reward berupa kasih sayanglah yang lebih berarti buat anak dan akan terus membekas dalam dirinya.” Hingga, hubungan orang tua dan anak pun jadi lebih erat.
Sayangnya, ujar Lusi, pemberian reward kasih sayang jarang dilakukan orang tua di Indonesia. “Baik orang tua maupun anak cenderung risi melakukannya atau diperlakukan demikian.” Selain itu, masih banyak orang tua menganggap, bila anak disiplin itu sudah seharusnya hingga tak usah diberi apa-apa. Itu sebab, kalau anak berbuat salah, orang tua langsung memberi ganjaran. Tapi coba kalau anak disiplin atau berprestasi, malah tak mendapat apa-apa. Padahal, anak, kan, juga butuh reward selain sanksi.
Jadi, Bu-Pak, jangan pelit memberi penghargaan kala si kecil disiplin, ya. Sebaliknya, jangan ingin menghukum terus kala ia melanggar aturan, karena disiplin bukanlah hukuman. Sering, kan, kita salah kaprah menyamakan hukuman dengan disiplin. Padahal, disiplin adalah aturan atau patokan yang harus dijalankan anak demi kebaikannya, hingga ia pun harus menerima konsekuensinya bila melanggar. Bukankah konsekuensi itu pula yang harus ia terima kala melanggar aturan sosial? Misal, dijauhkan teman-temannya. Sebaliknya, ia bisa diterima dalam pergaulan jika tahu aturan.
Indah/Gazali Solahuddin
DISIPLIN MEMBUAT SI KECIL BAHAGIA
Sejak dini si kecil harus diperkenalkan pada aturan. Ini penting untuk penyesuaian dirinya kelak sebagai anggota masyarakat. Tapi, bagaimana caranya agar si kecil mematuhi disiplin?
“Saya cenderung sangat lentur dalam soal disiplin. Beda dengan suami saya.Dia banyak sekali menerapkan aturan pada anak kami. Padahal, anak kami masih kecil, baru 2 tahun. Kasihan, kan, jika dia terlalu banyak dilarang,” ungkap Nadia, ibu seorang putri.
Para orang tua, terutama ibu, umumnya sulit bersikap tegas menghadapi si kecil. Apalagi jika si kecil sudah menunjukkan mimik wajah memelas, aduh, rasanya kasihan sekali. Jadi, deh, permintaan si kecil yang tadinya ditolak, akhirnya dikabulkan juga. Habis, enggak tega, sih.
Padahal, dengan ibu atau ayah bersikap demikian, sama juga mengajari anak untuk tak mematuhi aturan atau berdisiplin. Nah, jika kejadian ini sering terulang, si kecil tak akan tahu, mana yang sebenarnya boleh dan mana yang sebenarnya dilarang.
Apalagi jika si kecil diizinkan melakukan apapun yang ia ingin lakukan kala ia menginginkannya, ini lebih parah lagi. Kelak, ia akan mengalami kesulitan setelah memasuki lingkungan di luar rumah. Misalnya, sekolah. “Di sekolah, kan, ada aturan-aturan. Misalnya, mau masuk ke kelas harus berbaris dulu. Atau, di kelas ada saat di mana anak harus duduk tenang. Jika anak tak biasa disiplin, peraturan itu enggak mungkin bisa dia lakukan,” terang psikolog Rahmitha P. Soendjojo.
Harus diingat, lanjut psikolog yang biasa dipanggil Mitha ini, mendisiplinkan anak bukan semata-mata agar anak berdisiplin dalam waktu seperti waktu makan, waktu tidur, dan lainnya. Tapi juga berdampak pada hal-hal lain dalam kehidupan, seperti menghargai orang lain. “Jika anak bisa duduk tenang di kelas, kan dia enggak mengganggu teman-temannya. Jika dia teratur, itu berarti dia belajar untuk bisa juga menghargai kepentingan orang lain. Dia tahu bagaimana adjustment, menyesuaikan diri di lingkungan itu,” tuturnya.
Para ahli mengatakan, anak-anak yang dibesarkan dalam situasi di mana setiap orang diperbolehkan melakukan segala sesuatu yang mereka inginkan kala mereka menginginkannya, umumnya tak akan disukai oleh orang-orang di luar rumahnya. Sebaliknya, anak-anak yang pada saat ini belajar untuk hidup berdasarkan peraturan, cenderung tumbuh menjadi anak yang lebih bahagia dan berkelakuan lebih baik.
Lantaran itu, mendisiplinkan anak harus dilakukan sejak sedini mungkin. Nah, usia batita merupakan usia yang tepat untuk mulai memperkenalkan anak pada disiplin. Sebab, terang Mitha, “Anak umur ini, kan, belum tahu mana yang benar dan salah, mana yang boleh dan tidak. Mereka juga belum dapat mengontrol dirinya. Jadi, orang tua harus memperkenalkannya dengan aturan.”
PAKAI TAKTIK
Tapi tentunya tak gampang mendisiplinkan anak batita. Sebab, di usia ini, si kecil mulai mengembangkan kemandiriannya. Ia mulai mengenal, “Saya maunya ini,” atau “Ini punyaku.” Sehingga, ia berkecenderungan untuk menolak atau menunjukkan sikap bertolak belakang terhadap apa yang orang tua inginkan darinya.
Selain itu, anak usia ini sedang dalam tahap eksplorasi. Ia belajar tentang dunianya melalui eksperimen, pengamatan sebab-akibat, dan mencobai lingkungannya termasuk orang dewasa yang ada di lingkungan itu.
Tak heran jika anak usia ini kerap dikatakan “susah diatur”. Tapi tak berarti si kecil tak bisa diatur atau dilatih berdisiplin. Hanya saja, seperti dikatakan Mitha, orang tua perlu taktik tertentu untuk mendisiplinkannya.
“Misalnya kita mau menerapkan jam tidur. Kita enggak bisa berharap, dia mau masuk ke kamarnya dan langsung tidur. Apalagi kalau dia belum mengantuk. Tapi tetap kita bawa ke kamar, lalu kita giring dia untuk memasuki satu aktivitas lain yang sifatnya untuk cooling down dia. Entah dengan membacakan buku cerita atau mendongeng, dan sebagainya. Dengan begitu, lama-lama dia akan tertidur juga,” papar Mitha.
Jika si kecil menolak dan minta ke luar kamar lagi, menurut Mitha, tetap bisa diatasi. “Katakan dengan tegas tapi lembut, ‘Sekarang bukan waktunya main.’ Jika dia menjerit-jerit, gendong. Kalau kita gendong dia dengan sayang sambil kita beri tahu, ‘Tidak. Mama ingin kamu tidak ke luar,’ dia bisa merasakan, kok,” tutur psikolog dari Data Informasi Anak – Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (DIA-YKAI) ini.
Yang penting, tegas Mitha, orang tua harus tetap konsisten dan konsekuen. “Jangan karena enggak tega, kita lalu membawa si anak ke luar kamar lagi,” ujarnya. Memang, aku Mitha, pada mulanya terasa berat. Tapi jika orang tua tetap konsisten (jam 20:00 harus tidur, misalnya) dan konsekuen (anak tetap di dalam kamar apapun yang terjadi), lama-lama anak pun akan mengerti.
JANGAN ASAL MELARANG
Cara menyatakan aturan juga penting, karena akan menentukan berhasil-tidaknya disiplin. Jadi, jangan hanya memberikan aturan tapi juga dijelaskan mengapa aturan itu diadakan. Katakan pada si kecil, “Kamu harus tidur sekarang supaya besok kamu bisa punya banyak tenaga lagi untuk bermain.” Atau, “Ini rak sepatu, tempat menyimpan sepatu. Jadi kalau kamu mau pakai sepatu, kamu tidak bingung lagi mencarinya.”
Begitu pun dalam melarang anak. Jangan hanya mengatakan, “Pokoknya, kamu tidak boleh nonton TV lagi!”. Tapi katakan, “Kamu tidak boleh nonton TV lagi karena sekarang waktunya tidur siang.” Atau, “Kamu tidak boleh makan cokelat karena kamu sedang batuk.” Contoh lain, “Kamu tidak boleh mencoret-coret tembok karena temboknya jadi kotor.”
Aturan/larangan juga harus jelas bagi anak. Misalnya, “Kamu boleh main di luar rumah, asal tidak jauh-jauh.” Aturan ini akan membuat anak bingung. “Tidak jauh-jauh”nya itu sampai di mana? Lagipula, anak usia ini belum dapat diminta untuk menentukan sendiri. Lebih baik katakan, “Kamu boleh main di luar rumah, tapi hanya sampai di depan pintu pagar halaman depan rumah kita.”
Selain itu, kita juga perlu memberikan alternatif perbuatan atau tingkah laku yang bisa diterima sebagai gantinya. Mitha mengingatkan, kemampuan berpikir alternatif anak usia ini masih belum berkembang sempurna. Karena itu, terangnya, “Kita harus memberikan bantuan jalan kepada anak untuk melakukan hal lain yang kita setujui.”
Jadi, bila kita melarang, “Kamu tidak boleh main ke rumah tetangga,” misalnya; maka kita harus memberikan alternatifnya, “tapi kamu boleh minta temanmu main ke rumah kita.” Contoh lain, “Kamu tidak boleh mencoret-coret di tembok, tapi kamu boleh mencoret-coret di atas kertas.” Atau, “Kamu tidak boleh meninju kakakmu. Kalau kamu mau bertinju, maka kamu boleh meninju bantal.”
Dengan memberikan alternatif, terang Mitha, anak jadi tahu dengan jelas tentang mana yang boleh dan tak boleh ia lakukan. “Kita pun jadi enggak menghambat perkembangan dia,” katanya. Contoh, bila kita hanya melarang si kecil mencoret-coret di tembok sementara kita tak memberikan alternatif di mana ia boleh melakukannya, maka itu dapat menghambat perkembangan kreativitasnya.
Contoh lain, perkembangan emosi. Si kecil marah kepada kakaknya dan ingin melampiaskan kemarahannya dengan memukul si kakak. Nah, dengan memberikan alternatif seperti meninju bantal, maka ia dapat menyalurkan perasaannya itu.
JIKA AYAH-IBU BERBEDA
Yang tak kalah penting adalah sikap ayah-ibu dalam mendisiplinkan anak. Jangan sampai, ayah membolehkan sementara ibu melarang. “Jika ada perbedaan antara ayah-ibu atau selalu bertolak belakang, anak akan bingung. Selain itu, anak bisa mencari salah satu figur orang tua sebagai pelindung. Misalnya ia ingin sesuatu dan ia tahu ibunya tak akan membolehkan, maka ia akan ‘lari’ ke ayahnya yang pasti akan membolehkan,” terang Mitha.
Perbedaan ini, tambah Mitha, juga akan membuat anak tak tahu aturan yang jelas itu seperti apa. “Ini, kan, bisa menimbulkan konflik dalam diri anak,” tukasnya. Apalagi jika perbedaan itu kerap terjadi dan tak pernah dijembatani, lama-lama si kecil akan selalu timbul keraguan yang bisa terbawa sampai ia dewasa.
Ditambah lagi, tak ada pihak lain semisal keluarga besar yang mengarahkan si kecil. “Bukan tak mungkin si anak kelak menjadi tak tahu mana yang sebetulnya salah dan mana yang sebetulnya memang benar. Ada kemungkinan juga, nantinya ia berkembang menjadi orang yang tak mau mengakui kesalahannya meskipun ia tahu telah melakukan kesalahan,” tutur Mitha.
Karena itu, Mitha menegaskan, ayah-ibu boleh saja berbeda, tapi untuk beberapa hal tertentu apalagi yang berkaitan dengan pendidikan anak, maka harus ada kesepakatan. Dengan demikian, anak bisa berkembang optimal serta memiliki kepribadian yang matang dan baik.
Agar Disiplin Efektif
* Mulailah dari aktivitas sehari-hari. Misal, keteraturan dalam hal waktu makan, tidur, mandi, main, nonton TV, dan sebagainya. Begitu pun dalam hal mengganti pakaian tidur ketika akan tidur, meletakkan baju kotor di tempatnya, mencuci tangan sebelum makan, dan sebagainya.
* Jangan terlalu banyak aturan karena akan menghambat dorongan alaminya untuk mandiri. Akibatnya, ia akan memberontak. Bisa juga ia jadi tunduk, semata karena takut dihukum.
* Tetapkan dan terapkan aturan/larangan dengan kasih sayang. Ini memberinya kesempatan untuk memahami mengapa ia harus berdisiplin. Aturan yang otoriter membuat ia kehilangan disiplin dirinya saat berada di luar pengawasan Anda. Ia pun dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang tak mampu membuat pilihan secara bijaksana.
* Beri perhatian kala ia bersikap baik. Seringlah memuji atau memberinya penghargaan kala ia mematuhi aturan.
* Jangan bilang ia anak nakal/bandel/jahat atau lainnya yang sejenis itu, kala ia melanggar disiplin. Lebih baik katakan, “Bunda enggak suka dengan cara kamu menyimpan sepatu di sembarang tempat.” Ingat, yang dikritik ialah perilakunya.
* Jangan pakai kekerasan. Sekalipun hanya dengan sedikit cubitan atau sentilan. Karena, sekali saja dilakukan, Anda akan terdorong untuk melakukannya lagi di lain waktu. Lama-lama si kecil belajar bahwa kekerasan merupakan satu bentuk penyelesaian masalah.
* Beri hukuman sesuai pelanggarannya. Misal, ia mencoret-coret tembok. Jangan hukum ia dengan melarangnya nonton TV. Tak ada hubungan sama sekali antara nonton TV dengan mencoret-coret tembok. Sebaiknya, ajak si kecil bersama-sama Anda membersihkan bekas coret-coretan itu.
* Jangan berharap si kecil akan segera berdisiplin begitu aturan ditetapkan dan diterapkan. Perlu waktu untuk mengulang-ulang bahwa sesuatu itu salah atau tak boleh dilakukan, sebelum akhirnya anak mengerti. Ingat, kemampuan berpikir anak usia ini masih terbatas.
* Anda pun harus disiplin. Ingat, salah satu karakteristik anak usia ini ialah meniru, terutama meniru ayah-ibunya. Nah, jadilah model yang benar bagi si kecil.
* Ciptakan lingkungan yang aman di rumah, antara lain dengan menyingkirkan segala barang/benda yang dapat membahayakan si kecil. Sehingga, Anda tak harus bikin banyak aturan/larangan dan ia pun bisa memuaskan rasa ingin tahunya dengan aman.
Julie Erikania (from Rizkisaputro.wordpress.com)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment