Apakah kita akan menjadi orang yang suka menganjurkan sementara justru lupa diri sendiri? Sudah semestinya kita bersyukur kepada Allah SWT yang telah menggerakkan hati kita untuk memenuhi panggilan-Nya melaksanakan shalat Jum'at. Betapa banyak saudara kita yang biasa berangkat ke masjid pada hari ini terpaksa tidak bisa hadir karena terbaring sakit. Mereka ingin memenuhi panggilan Allah, tapi apa daya kesehatan tidak memungkinkan. Banyak juga diantara saudara kita yang pada hari ini dalam keadaan segar-bugar, sehat wal afiat tapi tidak bisa hadir di masjid untuk ruku' dan sujud kepada Sang Pencipta kehidupan. Mereka disibukkan mencari kebutuhan hidup, sehingga tidak sempat untuk mencari bekal setelah hidup. Mereka disibukkan oleh pekerjaan yang memang tidak pernah ada habisnya. Jasmani mereka siap untuk memenuhi panggilan Allah, tapi rohaninya menolak.
Lebih banyak lagi saudara kita yang hatinya terpaut ke masjid, tapi karena kondisi yang sulit mereka rela mengorbankan panggilan hatinya, demi untuk sesuap nasi. Mereka adalah para buruh pabrik yang tidak diberi kesempatan oleh para majikannya untuk menunaikan shalat Jum'at. Mereka adalah para pelayan toko yang terpaksa absen karena takut dipecat. Mereka adalah para buruh bangunan yang diawasi ketat oleh mandornya agar tidak meninggalkan tugas sebelum jam yang telah ditetapkan. Mereka adalah saudara-saudara kita yang lemah, yang terpaksa melakukan hal ini karena didorong oleh kebutuhan yang sangat mendesak. Pada pundak mereka tergantung beberapa mulut yang harus disuapi. Alhamdulillah, sekali lagi kita perlu bersyukur kepada Allah SWT yang telah mengetuk hati kita, memberi kesehatan kepada kita, memberi kesempatan yang cukup untuk melakukan ruku' dan sujud kepada-Nya. Semoga karunia yang besar ini dapat kita pertahankan, kalau bisa kita kembangkan. Semoga Allah tidak segera mencabut karunia yang besar ini. Untuk itu kita harus pandai-pandai mensyukurinya. "Dan takala Rabbmu mema'lumkan: 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'" (QS. Ibrahim: 7) Ketika bangun tidur pagi tadi, apakah kita sudah membaca do'a sebagai rasa syukur kita kepada-Nya? Sepertinya do'a itu sepele saja, tapi dengan cara apa lagi kita mensyukuri nikmat pemberian Allah, jika berdo'a saja kita enggan melakukannya? Sayang, banyak diantara kita yang pandai mengajarkan do'a kepada anak-anak, tapi lupa diri sendiri. Ketika anak kita mau makan, kita tuntun mereka berdo'a terlebih dahulu. Akan tetapi jika tiba giliran kita yang makan, malah lupa berdo'a. Demikian juga ketika anak menjelang tidur, kita ajarkan mereka untuk melafalkan do'a terlebih dahulu. Akan tetapi jika kita sendiri mau tidur, langsung rebah tanpa didahului do'a, bahkan posisi tidur pun tidak sesuai dengan sunnah Rasul. Ini kenyataan yang mesti kita sadari. Jika kenyataan ini terus berulang, dikhawatirkan kita akan terkena teguran Allah yang amat keras sebagaimana dalam firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (QS. As-Shaaf: 2-3) Memang, bicara itu lebih mudah daripada berbuat. Ringan saja bagi kita menganjurkan seseorang agar bersabar ketika ditimpa musibah, tapi jika kita sendiri yang terkena musibah itu baru terasa betapa sulitnya bersabar. Jika para mubaligh itu tugasnya hanya menyampaikan da'wah islamiyah saja, maka sungguh ringan tugasnya. Tapi tugas para muballigh akan menjadi berat jika dipundaknya terletak tanggungjawab untuk menjadi pelopor kebaikan itu sendiri. Sekedar menjadi penganjur kebaikan itu tidak susah, yang berat justru menjadi teladan kebaikan. Kebanyakan wibawa orang tua di hadapan anak-anaknya jatuh karena masalah ini. Orang tua menganjurkan anaknya mengaji, tapi mereka sendiri tidak pernah membuka Al-Qur'an. Bibirnya juga tidak pernah melantunkan ayat suci itu. Orang tua menganjurkan anak-anaknya pergi ke masjid untuk menunaikan shalat berjama'ah, tapi ayahnya sendiri shalat di rumah saja, itupun ditunda-tunda waktunya. Ayah sangat marah bila ketahuan anaknya merokok, sementara dia sendiri tidak pernah berhenti merokok. Orang tua tidak suka anaknya bertengkar dengan anak tetangga, tapi mereka selalu bertengkar di hadapan anak-anaknya. Kenyataan ini memang sangat memprihatinkan. Coba dalam kesempatan seperti ini kita kembali merenungi kesalahan kita dalam mendidik anak-anak kita, lebih penting lagi mendidik diri kita sendiri. Kembali pada soal do'a bangun tidur, kenapa hal yang kita anggap remeh dan kecil itu mesti diajarkan oleh Islam? Masalah tidur dan bangun tidur sebenarnya bukan persoalan sepele. Alangkah banykanya orang yang kesulitan tidur. Sudah berjam-jam mereka beringkan tubuhnya, mereka pejamkan matanya, tapi nyatanya tidak bisa tidur juga. Mereka yang fasilitas tidurnya lebih nyaman, kamar ber-AC, kasurnya empuk, didampingi juga oleh istri yang cantik, ternyata justru yang paling banyak mengalami gangguan tidur. Di Barat, banyak orang baru bisa tidur setelah terlebih dahulu minum obat penenang. Gejala ini mulai merembet ke negeri kita. Banyak eksekutif yang mengalami gangguan ini, demikian juga orang sibuk lainnya. Itulah sebabnya buku psikologi yang membahas cara tidur yang nyenyak tanpa obat menjadi laris di pasaran. Ini pertanda bahwa tidur itu bukan persoalan sederhana. Kita bisa membayangkan jika sewaktu-waktu kita tidak bisa tidur hingga sepekan, alangkah sakitnya. Mungkin kita sudah tidak bisa tinggal di rumah, tapi harus dikirim ke rumah sakit. Sekedar untuk bisa tidur saja harus mengeluarkan uang berjuta-juta, sambil juga meninggalkan pekerjaan yang berarti rugi dua kali. Sekarang kita kembali menanyakan kepada diri kita sendiri, adakah ketika kita bangun tadi pagi sudah mengucapkan syukur kepada-Nya dengan membaca do'a sebagaimana yang diajarkan Nabi? Jika belum tahu do'anya, mari kita bertanya kepada yang tahu atau membaca buku do'a. Yang lupa, mari kita segera beristighfar kepada-Nya. Kita lanjutkan muhasabah kita, kali ini kita teliti apa saja yang telah kita perbuat sesudah bangun tidur hingga sekarang. Apakah perbuatan kita sudah sepadan dengan fasilitas yang disediakan Allah kepada kita? Sungguh hidup di dunia ini adalah kesempatan yang mahal harganya, dan hanya terjadi sekali, tidak akan berulang lagi. Sekali ini tidak kita manfaatkan, kita bakal menyesal selama-lamanya. Jangan seperti rintihan orang-orang kafir yang meminta kepada Allah agar diberi kesempatan hidup lagi agar bisa berbuat baik. Jika sekarang ini kita berada di masjid, memenuhi undangan Allah melaksanakan shalat Jum'at, kita bertanya, apakah dalam pelaksanaan ibadah Jum'at ini kita telah khusyu' mulai dari persiapan ibadah Jum'at, berangkat ke masjid, mendengarkan khutbah, hingga shalat Jum'atnya? Jika belum, kenapa? Sudahkah kita berusaha secara sungguh-sungguh dengan niat yang tulus mengahap kepada Allah? Insya Allah jika ada usaha, Allah pasti membukakan jalan-Nya. Tapi jika kita laksanakan shalat ini dengan hati yang kosong, tanpa mujahadah yang memadai, bagaimana mungkin kita bisa khusyu', apalagi bisa menikmati shalat itu sendiri. Terakhir, Allah memerintahkan kepada kita untuk segera beranjak dari masjid ini setelah kita laksanakan shalat Jum'at, untuk mencari karunia-Nya. Kenapa kita malah berbaring, tidur-tiduran, bermalas-malasan setelah kita tunaikan kewajiban? Bukankah Allah berfirman: "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (QS. Al-Jumu'ah: 10) Source : http://alqalam.8m.com/vii/qal50.htm
No comments:
Post a Comment