Friday, 13 November 2009
Apakah Sudah Yang Terbaik Yang Kita Qurbankan
Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan Qurban.
Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku,
dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan.
Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya
bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali
anak-anak yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan
di-Qurban-kan pada Idul Adha nanti, sebuah pembelajaran yang cukup
baik bagi anak-anak sejak dini tentang pengorbanan NabiAllah Ibrahim
& Nabi Ismail.
Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi
memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti.
Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang,
ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.
" Berapa harga kambing yang itu pak ?" ujarku menunjuk kambing coklat
tersebut.
" Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah
tidak kurang" kata si pedagang berpromosi
matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.
" Tidak bisa turun pak?" kataku mencoba bernegosiasi.
" Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal" si pedagang
bertahan.
" Satu juta lima ratus ribu ya?" aku melakukan penawaran pertama
" Maaf pak, masih jauh." ujarnya cuek.
Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran
terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan
harganya.
" Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu?" kataku
" Masih belum nutup pak " ujarnya tetap cuek
" Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?"
ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.
" Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa
datang ke sini sendiri. Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan
mobil bahan bakarnya bukan rumput" kata si pedagang meledek.
Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan
harga selain yang sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku
alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan
bila ada perbedaan harga lima ratus ribu.
Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban
mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus
tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang
harganya kini selangit.
" Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?" kataku kemudian
" Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah"
katanya
Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek
menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun pakaian
"korpri" yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.
" Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?" katanya kagum
" Dua juta tidak kurang tidak lebih kek." kata si pedagang setengah
malas menjawab setelah melihat penampilan si kakek.
" Weleh larang men regane (mahal benar harganya) ?" kata si kakek dalam
bahasa Purwokertoan " bisa di tawar-kan ya mas ?" lanjutnya mencoba
negosiasi juga.
" Cari kambing yang lain aja kek. " si pedagang terlihat semakin malas
meladeni.
" Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing apik lan gagah Qurban taun iki (Aku
mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini)
Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk) mbayar koq mas." katanya tetap
bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari saku celananya.
Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di bukanya, enam
belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh
ribuan dikeluarkan dari dalamnya.
" Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse (kambingnya) dianter ke rumah ya
mas?" lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.
Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya
sejak tadi.Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima
uang yang disodorkan si kakek, kemudian di hitungnya perlahan lembar
demi lembar uang itu.
" Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah" si pedagang mengeluarkan
selembar lima puluh ribuan
" Ora ono ongkos kirime tho...?" (Enggak ada ongkos kirimnya ya?)
si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih
" Dua juta sudah termasuk ongkos kirim" si pedagang yg cukup jujur
memberikan lima puluh ribu ke kakek
" mau di antar ke mana mbah?" (tiba-tiba panggilan kakek berubah
menjadi mbah)
" Alhamdulillah, lewih (lebih) lima puluh ribu iso di tabung neh (bisa
ditabung lagi)" kata si kakek sambil menerimanya
" tulung anterke ning d eso cedak kono yo (tolong antar ke desa dekat itu
ya), sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid
Baiturrohman, takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo
pensiunan pegawe Pemda Pasir Mukti, InsyaAllah bocah-bocah podo
ngerti (InsyaAllah anak-anak sudah tahu)."
Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah di
sepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang di
sandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari X-Trail
milikku. Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap
di kayuhnya tetap dengan semangat.
Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya
berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku. Kakek tua pensiunan
pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol, sanggup membeli
hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya. Aku tidak tahu persis
berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek.
Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang
berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti
hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan. Yang pasti secara
materi, sangatlah jauh di banding penghasilanku sebagai Manajer
perusahaan swasta asing. Yang sanggup membeli rumah di kawasan
cukup bergengsi Yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang
harga bannya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super. Yang
sanggup mempunyai hobby berkendara moge (motor gede) dan memiliki
nya. Yang sanggup membeli hewan Qurban dua ekor sapi sekaligus.
Tapi apa yang aku pikirkan? Aku hanya hendak membeli hewan Qurban
yang jauh di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service
rutin mobil X-Trail, kendaraanku di dunia fana. Sementara untuk
kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya.
Ya Allah, Engkau yang Maha Membolak-balikan hati manusia
balikkan hati hambaMu yang tak pernah berSyukur ini
ke arah orang yang pandai menSyukuri nikmatMu
(Oleh : Jojo Wahyudi, mail.krakatausteel.com)
Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku,
dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan.
Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya
bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali
anak-anak yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan
di-Qurban-kan pada Idul Adha nanti, sebuah pembelajaran yang cukup
baik bagi anak-anak sejak dini tentang pengorbanan NabiAllah Ibrahim
& Nabi Ismail.
Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi
memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti.
Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang,
ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.
" Berapa harga kambing yang itu pak ?" ujarku menunjuk kambing coklat
tersebut.
" Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah
tidak kurang" kata si pedagang berpromosi
matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.
" Tidak bisa turun pak?" kataku mencoba bernegosiasi.
" Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal" si pedagang
bertahan.
" Satu juta lima ratus ribu ya?" aku melakukan penawaran pertama
" Maaf pak, masih jauh." ujarnya cuek.
Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran
terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan
harganya.
" Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu?" kataku
" Masih belum nutup pak " ujarnya tetap cuek
" Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?"
ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.
" Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa
datang ke sini sendiri. Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan
mobil bahan bakarnya bukan rumput" kata si pedagang meledek.
Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan
harga selain yang sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku
alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan
bila ada perbedaan harga lima ratus ribu.
Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban
mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus
tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang
harganya kini selangit.
" Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?" kataku kemudian
" Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah"
katanya
Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek
menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun pakaian
"korpri" yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.
" Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?" katanya kagum
" Dua juta tidak kurang tidak lebih kek." kata si pedagang setengah
malas menjawab setelah melihat penampilan si kakek.
" Weleh larang men regane (mahal benar harganya) ?" kata si kakek dalam
bahasa Purwokertoan " bisa di tawar-kan ya mas ?" lanjutnya mencoba
negosiasi juga.
" Cari kambing yang lain aja kek. " si pedagang terlihat semakin malas
meladeni.
" Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing apik lan gagah Qurban taun iki (Aku
mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini)
Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk) mbayar koq mas." katanya tetap
bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari saku celananya.
Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di bukanya, enam
belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh
ribuan dikeluarkan dari dalamnya.
" Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse (kambingnya) dianter ke rumah ya
mas?" lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.
Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya
sejak tadi.Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima
uang yang disodorkan si kakek, kemudian di hitungnya perlahan lembar
demi lembar uang itu.
" Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah" si pedagang mengeluarkan
selembar lima puluh ribuan
" Ora ono ongkos kirime tho...?" (Enggak ada ongkos kirimnya ya?)
si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih
" Dua juta sudah termasuk ongkos kirim" si pedagang yg cukup jujur
memberikan lima puluh ribu ke kakek
" mau di antar ke mana mbah?" (tiba-tiba panggilan kakek berubah
menjadi mbah)
" Alhamdulillah, lewih (lebih) lima puluh ribu iso di tabung neh (bisa
ditabung lagi)" kata si kakek sambil menerimanya
" tulung anterke ning d eso cedak kono yo (tolong antar ke desa dekat itu
ya), sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid
Baiturrohman, takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo
pensiunan pegawe Pemda Pasir Mukti, InsyaAllah bocah-bocah podo
ngerti (InsyaAllah anak-anak sudah tahu)."
Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah di
sepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang di
sandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari X-Trail
milikku. Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap
di kayuhnya tetap dengan semangat.
Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya
berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku. Kakek tua pensiunan
pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol, sanggup membeli
hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya. Aku tidak tahu persis
berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek.
Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang
berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti
hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan. Yang pasti secara
materi, sangatlah jauh di banding penghasilanku sebagai Manajer
perusahaan swasta asing. Yang sanggup membeli rumah di kawasan
cukup bergengsi Yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang
harga bannya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super. Yang
sanggup mempunyai hobby berkendara moge (motor gede) dan memiliki
nya. Yang sanggup membeli hewan Qurban dua ekor sapi sekaligus.
Tapi apa yang aku pikirkan? Aku hanya hendak membeli hewan Qurban
yang jauh di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service
rutin mobil X-Trail, kendaraanku di dunia fana. Sementara untuk
kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya.
Ya Allah, Engkau yang Maha Membolak-balikan hati manusia
balikkan hati hambaMu yang tak pernah berSyukur ini
ke arah orang yang pandai menSyukuri nikmatMu
(Oleh : Jojo Wahyudi, mail.krakatausteel.com)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment